Sebelum drama Korea se- booming sekarang, saya sudah cukup aktif menonton drama Korea di televisi. Selain karena kualitas pemainnya yang bagus, saya juga melihat perfilman Korea terus berkembang pesat dibandingkan pertama kali saya menonton Endless Love yang diperankan Song Hye Kyo dan Song Seung Heon pada awal 2000-an. Drama Korea Selatan © Arina Krasnikova from Pexels Meski terbilang mampu menghanyutkan perasaan penonton, beberapa drama Korea awal 2000-an bagi saya masih terasa sangat kaku, baik dari segi alur maupun score- nya (musik yang mengiringi tiap adegan). Sebut saja Winter Sonata, Hotelier, dan Lovers in Paris, yang juga dirilis di era yang sama dengan Endless Love, yang cenderung menghadirkan film bernuansa romantis dengan jalan cerita yang sebenarnya begitu-begitu saja. Kalau tidak tentang anak dan orang tua, ya tentang cinta segitiga. Intinya, masih terasa William Shakespeare sentrislah. Sementara itu, saya juga merasa serial drama Korea yang sudah saya sebutkan di atas
Penduduk desa biasa dikenal dengan keramahan, keakraban antartetangga, dan solidaritas antara sanak famili. Sebagai perempuan desa nan jauh di belahan bumi Nusantara, saya sudah hafal bagaimana suka duka tinggal di desa. Namun, di sini, saya akan mengupas perihal dukanya saja sebagai bentuk mengeluarkan suara hati yang sedari lama bersembunyi rapat-rapat. Selain itu, tulisan ini juga sebagai bentuk kritikan saya untuk masyarakat pedesaan dengan harapan dapat memutus rantai kebiasaan yang menurut saya cukup meresahkan. Perempuan Desa Berpendidikan © Anete Lusina from Pexels Saking solidnya masyarakat pedesaan, terkadang kehidupan orang lain pun turut diurusi. Hal ini tentu saja bukanlah suatu yang tabu bagi masyarakat desa karena memang sudah melekat dan membudaya. Awalnya, saya menganggap hal ini sebagai suatu kewajaran, sampai suatu ketika saya menginap berhari-hari di rumah teman yang ada di kota. Saat itu, saya merasa bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kehidupan di desa den