Bukanlah barang yang baru bahwa pernah ada kehidupan sosial, budaya, dan spiritual yang mengacu pada seks. Sebut saja konsep “lingga dan yoni” yang sudah ada sejak zaman Hindu atau barangkali sudah ada pula konsep serupa yang hidup di masa animisme dan totemisme. Sejarah Nusantara sendiri tidak terlepas dari hal tersebut, bahkan setelah masuknya Islam. Di awal transisi zaman Hindu ke Islam, terjadi asimilasi budaya dan kepercayaan. Peleburan nilai-nilai Islami, Hindu, dan falsafah Jawa Kuno terjadi. Persoalan seks termasuk di dalamnya. Hal ini, salah satunya dapat disimak di dalam Serat Centhini yang disusun oleh tiga pujangga keraton atas titah Anom Amengkunegara III (Surakarta) pada awal abad ke-19. Dalam Serat Centhini , seks bukanlah pemanis belaka. Hal itu bahkan mungkin menjadi sumbu esensi karya ini. Seks tidak berdiri sendiri. Sesembrono apa pun adegannya, ia berkelindan dengan berbagai hal, termasuk dengan nilai-nilai ilahi. Cebolang dan Nurwitri menyerap kenikmatan para gadi
Dalam film horor atau legenda, bulan purnama erat kaitannya dengan lolongan serigala atau manusia serigala . Menurut mitos Eropa Kuno tersebut, manusia serigala akan berubah dan mencapai puncak kekuatan mistiknya saat bulan purnama tiba. Dalam beberapa cerita, manusia serigala juga dikisahkan akan kehilangan kekuatannya di saat yang sama. Misalnya, Inuyasha yang akan kehilangan kekuatannya saat bulan purnama tiba. Baik cerita rakyat, legenda, maupun mitos terkait serigala atau bulan purnama tentu tidak hadir begitu saja. Ketiganya merupakan sastra lisan yang bersifat mimesis alias meniru kehidupan nyata. Jadi, bukan tidak mungkin jika manusia atau hewan dan makhluk hidup lainnya merasakan perubahan fisik maupun emosi saat bulan purnama. Bulan Purnama © Peter de Vink from Pexels Bulan purnama dan manusia Beberapa tahun lalu, saya menyadari bahwa tubuh dan emosi saya berubah seketika saat menjelang purnama. Awalnya, saya mengira kalau saya terlalu imajinatif karena merasakan “serangan-ak