Skip to main content

Posts

Surat untuk Matilda

Ini bukan surat biasa, melainkan ruang sunyi yang ingin saya buka, untuk seseorang yang pernah memanggil saya “Matilda”. Surat untuk Matilda © 123rf Suatu malam, kami pernah berbicara dari hati ke hati tentang luka dan rasa sakit yang pernah kami alami. Saya ingat betul ketika dia berkata, “Selama ini aku selalu kepingin jadi Matilda. Tapi, hari ini, aku ketemu kamu kok rasanya seperti ketemu Matilda ya.” Sejak saat itu, obrolan seputar Matilda menjadi sesuatu yang menarik bagi kami. Baginya, Matilda adalah sosok yang diharapkan bisa menjadi dirinya. Bagi saya, Matilda adalah sosok unik yang akan selalu menjadi bagian dari perjalanan rasa kami. Kini, setelah kepergiannya, kalimat itu terngiang kembali. Rasanya seperti pesan terakhir yang dititipkannya sebelum ia benar-benar hilang. Perkenalan yang Bukan Kebetulan Sebut saja ia Matilda, atau M. Saya dan M terpaut usia 10 tahun. Namun, kami tidak pernah merasa bahwa usia adalah penghalang bagi kami untuk bisa berbagi banyak hal. Perkenal...
Recent posts

The Power of Walking: Tersesat di Jalan Kebenaran

Bagi sebagian orang, berjalan kaki mungkin merupakan aktivitas yang cukup melelahkan dan membosankan. Apalagi jika orang-orang tersebut memiliki waktu yang sangat sempit untuk mengejar sesuatu, bisa dipastikan bahwa mereka akan lebih memilih menggunakan kendaraan ketimbang berjalan kaki.  Namun, bagi saya, berjalan kaki bukan hanya bergerak melangkahkan kaki dengan tujuan tertentu. Berjalan kaki adalah seni melepaskan emosi yang baru saya tahu ternyata juga memiliki banyak manfaat secara intelektual dan spiritual. The Power of Walking © Andrea Piacquadio from Pexels Ketika saya merasa marah dengan suatu keadaan atau emosi negatif lainnya, saya memilih untuk menghabiskan waktu dengan berjalan kaki tanpa tujuan ketimbang menghabiskan energi untuk memendam kemarahan dengan berdiam diri di rumah. Saat berjalan kaki melintasi suatu tempat, saya tidak hanya melihat bagaimana tempat itu berdiri, tapi juga merasakan bagaimana energi yang ada di sekitarnya. Begitu juga ketika saya bertemu d...

Korea Selatan yang Terus Maju, Indonesia yang Terus… (Isi Sendiri)

Sebelum drama Korea se- booming sekarang, saya sudah cukup aktif menonton drama Korea di televisi. Selain karena kualitas pemainnya yang bagus, saya juga melihat perfilman Korea terus berkembang pesat dibandingkan pertama kali saya menonton Endless Love yang diperankan Song Hye Kyo dan Song Seung Heon pada awal 2000-an.  Drama Korea Selatan © Arina Krasnikova from Pexels Meski terbilang mampu menghanyutkan perasaan penonton, beberapa drama Korea awal 2000-an bagi saya masih terasa sangat kaku, baik dari segi alur maupun score- nya (musik yang mengiringi tiap adegan). Sebut saja Winter Sonata, Hotelier, dan Lovers in Paris, yang juga dirilis di era yang sama dengan Endless Love, yang cenderung menghadirkan film bernuansa romantis dengan jalan cerita yang sebenarnya begitu-begitu saja. Kalau tidak tentang anak dan orang tua, ya tentang cinta segitiga. Intinya, masih terasa William Shakespeare sentrislah. Sementara itu, saya juga merasa serial drama Korea yang sudah saya sebutkan di ...

Struggles Menjadi Perempuan Berpendidikan di Desa

Penduduk desa biasa dikenal dengan keramahan, keakraban antartetangga, dan solidaritas antara sanak famili. Sebagai perempuan desa nan jauh di belahan bumi Nusantara, saya sudah hafal bagaimana suka duka tinggal di desa. Namun, di sini, saya akan mengupas perihal dukanya saja sebagai bentuk mengeluarkan suara hati yang sedari lama bersembunyi rapat-rapat. Selain itu, tulisan ini juga sebagai bentuk kritikan saya untuk masyarakat pedesaan dengan harapan dapat memutus rantai kebiasaan yang menurut saya cukup meresahkan. Perempuan Desa Berpendidikan ©  Anete Lusina from Pexels Saking solidnya masyarakat pedesaan, terkadang kehidupan orang lain pun turut diurusi. Hal ini tentu saja bukanlah suatu yang tabu bagi masyarakat desa karena memang sudah melekat dan membudaya. Awalnya, saya menganggap hal ini sebagai suatu kewajaran, sampai suatu ketika saya menginap berhari-hari di rumah teman yang ada di kota. Saat itu, saya merasa bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kehidupan di desa...

Sudahi Sekarang! Anak Perempuan Tak Seharusnya Menanggung Stigma

Manusia lahir sudah harus menanggung stigma. Merah muda untuk perempuan, biru untuk laki-laki. Memasuki usia anak-anak, perempuan diajarkan untuk membantu mengurus rumah, sementara laki-laki bermain saja. Memasuki usia remaja, perempuan disuruh bersaing dengan perempuan lain, siapa yang lebih cantik, cerdas, dan menarik. Belum lagi dijejali stigma “wajar laki-laki tak rupawan berpasangan dengan perempuan rupawan” tapi kalau sebaliknya? Heboh bukan main.  Stigma Anak Perempuan © Pixabay from Pexels Memasuki usia dewasa, perempuan dituntut jadi dewi. Selain harus bisa mengurusi diri sendiri, mengurusi rumah, mengurusi laki-laki, mengurusi anak, mengurusi mulut tetangga, kalau bisa tetap tampil cantik kapan pun dan di mana pun. Akan selalu ada pembanding. Usahanya seakan tak pernah cukup. Sementara laki-laki? Ya nggak apa-apa, namanya juga laki-laki. Bukankah kita sering melihat konten media sosial yang saling menjatuhkan sesama perempuan? Dialog seperti, “Jadilah cewek yang serbabisa...