Ini bukan surat biasa, melainkan ruang sunyi yang ingin saya buka, untuk seseorang yang pernah memanggil saya “Matilda”.
![]() |
Surat untuk Matilda © 123rf |
Suatu malam, kami pernah berbicara dari hati ke hati tentang luka dan rasa sakit yang pernah kami alami. Saya ingat betul ketika dia berkata, “Selama ini aku selalu kepingin jadi Matilda. Tapi, hari ini, aku ketemu kamu kok rasanya seperti ketemu Matilda ya.”
Sejak saat itu, obrolan seputar Matilda menjadi sesuatu yang menarik bagi kami. Baginya, Matilda adalah sosok yang diharapkan bisa menjadi dirinya. Bagi saya, Matilda adalah sosok unik yang akan selalu menjadi bagian dari perjalanan rasa kami.
Kini, setelah kepergiannya, kalimat itu terngiang kembali. Rasanya seperti pesan terakhir yang dititipkannya sebelum ia benar-benar hilang.
Perkenalan yang Bukan Kebetulan
Sebut saja ia Matilda, atau M. Saya dan M terpaut usia 10 tahun. Namun, kami tidak pernah merasa bahwa usia adalah penghalang bagi kami untuk bisa berbagi banyak hal. Perkenalan kami dimulai saat ia menjadi karyawan baru di tempat kami bekerja. Saat itu, kami diminta untuk memberi pertunjukan singkat sebagai salam perkenalan. Dia memainkan gitar, saya bernyanyi. Kami sepakat membawakan lagu “Bertaut” dari Nadin Amizah.
Sejak saat itu, energi kami pun turut bertaut. Kami mulai sering makan siang bersama, WFC, bertukar cerita tentang hobi dan asmara, sampai bermalam bersama untuk sekadar deep talk.
Lalu, suatu perjalanan rasa pun dimulai saat saya menginap di kos-kosannya dan menemukan setumpuk obat penenang di laci mejanya. Awalnya, M terlihat panik. Namun, setelah saya bertanya dengan hati-hati, ia mulai berbicara tentang rasa ingin mati. Sejak itulah ia mulai menemukan celah untuk dapat berbicara tentang rasa-rasa yang lain, luka-luka batin yang masih menganga, dan rasa ingin hidup yang masih tersisa.
Saya senang mendapati bahwa ia masih memiliki semangat untuk hidup dan berkarya. Di sela-sela perasaan hampa dan putus asa, ia masih menyisakan ruang untuk bertanya, “Gimana kalau aku ambil les vokal?” atau “Aku mau nonton konser lagi deh kayaknya.”
Setahun berlalu, saya merasa bahwa M sudah mulai menemukan elan vital-nya kembali. Saya lebih sering melihatnya tertawa ketimbang menangis. Saya lebih sering mendengar ia bercerita tentang cita-citanya untuk pergi ke luar negeri ketimbang cita-citanya untuk mati.
Kepergian yang Tak Sempat Dijangkau
Saya adalah seorang empath yang sangat mudah “tertular” emosi, pikiran, dan kondisi fisik orang lain, terutama orang yang memiliki kedekatan emosional dengan saya. Saya bisa dengan mudah merasakan kondisi emosional, mental, dan fisik orang lain seolah-olah semua itu adalah perasaan saya sendiri.
Banyak orang mengira menjadi empath adalah anugerah karena bisa merasakan emosi orang lain, membaca situasi, dan menjadi tempat bersandar bagi banyak orang. Tapi kenyataannya, itu adalah hal yang sangat melelahkan. Kadang membingungkan, bahkan menyakitkan.
Bagi saya, menjadi empath sama seperti berjalan di dunia dengan cangkang yang terlalu tipis sehingga bisa merasakan badai bahkan sebelum awan datang. Nahasnya, mengetahui banyak hal yang akan terjadi tidak selalu mudah. Kamu bahkan tidak bisa berbuat apa pun untuk mencegah hal buruk terjadi.
Setahun sebelum kepergian M, saya sering merasakan sakit fisik yang dideritanya. Mulai dari gerd, sakit kepala, sampai sakit perut yang tak kunjung reda. Semuanya tanpa sebab yang pasti. Energi M terus melekat pada saya dan saya terus berjuang untuk bertahan, supaya bisa tetap hadir saat ia membutuhkan saya.
Makin lama, kemelekatan menjadi tak terelakkan. Saya bisa tiba-tiba merasa hampa dan putus asa, lalu ingin mati tanpa alasan pasti. Sampai suatu hari, M menghubungi saya dan menyatakan bahwa keinginannya untuk mati makin menjadi-jadi.
Bagi seorang empath, compassion fatigue adalah hal yang sangat sulit untuk dihindari, terutama jika fisik dan mental kita sedang tidak dalam kondisi prima. Compassion fatigue sendiri mengacu pada kelelahan emosional, fisik, dan mental yang terjadi saat seseorang terlalu larut dalam penderitaan orang lain. Pada tahap paling dalam, kondisi ini akan membuat seorang empath kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Inilah yang terjadi pada saya beberapa bulan sebelum M memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tiap kali saya bertemu M, tiap itu juga saya jatuh sakit dan ingin mati. Sampai akhirnya, saya putuskan untuk menjaga jarak agar dapat meregulasi emosi dan energi saya sendiri.
Saat itu, menjauh dari M adalah suatu kelegaan karena energi kami tidak berpaut terlalu dalam. Saya bisa beristirahat sejenak sebelum akhirnya menemuinya kembali. Saya bisa menentukan kapan waktu yang tepat untuk bertemu M dan kapan waktu yang tepat untuk rehat.
Tapi, sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya (ini bukan kali pertama saya menghadapi teman yang memilih mengakhiri hidupnya), mereka pergi di saat saya memutuskan untuk menjaga jarak.
Tiap kali saya mundur untuk bertahan, saya kehilangan mereka. Lalu, sekarang, saya terjebak pada pola berulang: Jika mendekat, aku tenggelam dan hancur. Jika menjauh, aku kehilangan mereka.
Malam-Malam yang Kelam
Pada 10 Juli 2025, telinga saya berdengung kencang. Bagi sebagian empath, ini adalah sinyal bahwa kabar buruk akan datang. Saya tidak memiliki clue apa pun, tapi banyak penanda yang datang keesokan harinya. Mulai dari mendengar lagu Chop Suey! sampai menghapus pesan dari M di DM Instagram saya.
Mendengar kabar M telah pergi saat saya tengah menjauh adalah hal yang menyesakkan. Rasanya seperti bentuk pengkhianatan terselubung dalam ikatan persahabatan. Awalnya, beberapa teman yang mengenal saya sebagai empath memberikan validasi bahwa saya tidak bersalah dalam hal ini.
Namun, malam demi malam yang saya lalui terasa kelam. Pesan-pesan yang disampaikan M sebelumnya, tentang Matilda dan keinginan untuk mati, berputar-putar di benak saya. Pikiran saya mulai terjebak pada pertanyaan, “Apa peran saya sebagai empath bagi orang-orang seperti M?”
Saya mulai memasuki fase compassion trauma dan harus menghadapi psikosomatis radang usus selama beberapa hari. Sampai akhirnya, pada titik kontemplasi yang paling pasrah, saya meminta pada Tuhan untuk melepaskan segala kemelekatan energi yang ada di dalam diri saya. Membebaskan energi untuk berubah pada wujud yang memang semestinya.
Selamat Jalan, M!
Sepeninggal M, lagu “Matilda” milik Harry Styles kembali berdentang di benak saya. Liriknya bukan lagi sekadar melodi indah, melainkan pintu yang membawa saya pada ingatan tentang M, juga kesadaran tentang manusia yang ingin bebas dari belenggu.
Matilda, you talk of the pain like it’s all alright…
But I know that you feel like a piece of you’s dead inside.
Lagu ini bukan tentang menyelamatkan, melainkan tentang menyadari bahwa ada batas yang tidak bisa kita lewati, bahkan ketika kita sangat ingin.
Mengutip kata Harry Styles dalam wawancaranya dengan Zane Lowe dalam Apple Music, “We sat down and you have a couple of people in your life who you've lost a life to suicide and stuff, and it's always hard to not go, like, I wish I'd reached out to them, and I wish I'd done this, and it's really difficult not to do that, even if you're not that close to them. You know, with something like this, it's kind of like, you know, I want to~
Pada akhirnya, kadang-kadang yang dibutuhkan hanyalah mendengarkan, dan saya menyadarinya. Saya mungkin tidak bisa menyelamatkan M, tapi saya pernah mendengarkannya; sebaik yang saya bisa, sejauh yang saya mampu.
Sama seperti Harry yang terinspirasi dari seseorang yang dikenalnya dan memanifestasikannya sebagai sosok Matilda dalam karyanya, saya juga ingin menyiapkan kenangan indah bagi M dengan membuatkan Ruang Bahagia untuk “Matilda” lain yang masih memiliki ruang harapan untuk hidup dan bahagia.
Dear M,
Apa kabar kamu di sana? Semoga sedih dan sakitnya nggak terasa lagi, ya. Kepergian kamu menyisakan luka bagi banyak orang, sekaligus meninggalkan kenangan yang nggak mungkin dilupakan. Maaf kalau aku nggak sempat peluk kamu di saat kamu ada di titik terendah. Maaf kalau aku cuma balas chat kamu secukupnya. Maaf kalau aku nggak sempat memenuhi keinginan kamu buat meditasi bareng sambil staycation di Bogor. Tapi, terima kasih karena sudah mau berbagi cerita tentang Matilda dan luka-luka yang melingkupinya. Terima kasih sudah merelakan energimu untuk berpaut dengan energiku, meski cuma beberapa waktu. Terima kasih sudah mengirimkan pesan tentang keinginan kamu untuk bertemu aku, meski itu tidak terwujud sebagaimana ingin kita. Semoga jalan terang membersamaimu.
Selamat jalan, M. Selamat datang Ruang Bahagia!
*Tulisan ini dibuat untuk mengenang kepergian M, perempuan cantik dan baik hati yang telah berjuang begitu hebat melawan mental disorder yang dimilikinya
Comments
Post a Comment