![]() |
© Rodolfo Clix |
Beberapa waktu lalu, jagat maya sempat dihebohkan dengan berita penganiayaan seniman sekaligus aktivis Ratna Sarumpaet. Di media sosial, saya melihat sebagian orang berkomentar pedas tanpa tahu informasi tersebut kredibel atau tidak. Lantas, sebagiannya lagi memasang status iba karena berita tersebut.
Saat itu, saya belum tertarik dengan isu tersebut karena berita kekerasan dan menyangkutpautkannya dengan isu politik bukan keahlian saya. Keahlian saya ya begini, menulis semau saya. Hehe.
Setelah pro dan kontra penganiayaan tersebut muncul, barulah tersiar kabar bahwa penganiayaan yang dilakukan terhadap RS hanyalah berita bohong alias hoax. Mendengar kabar tersebut, saya tidak lantas tertarik karena bagi saya, kebohongan bukan hal langka yang dilakukan umat manusia. Jujur, siapa yang nggak pernah bohong seumur hidupnya?
Namun, distraksi akhirnya datang juga. Saat sedang asyik menulis-semau-saya, tiba-tiba saya dipertemukan dengan berita yang menyebutkan bahwa alasan RS berbohong adalah karena ia gagal operasi plastik dan perempuan paruh baya itu mau mengakui kebohongannya di hadapan publik. Di situ, barulah saya tertarik untuk melihat dan mencari tahu informasi lebih lanjut soal kasus tersebut. Bukan karena mau julid, bukan pula karena mau membela; melainkan karena saya punya cerita yang hampir mirip dengan yang dialami RS.
Cerita bohong dan rasa rindu
Begini, belasan tahun lalu, ketika usia saya masih sembilan belas tahun, saya pernah melakukan aksi kebohongan sekaligus pengakuan seperti yang dilakukan RS. Saat itu, sebagian besar teman kuliah saya sedang pergi ke luar kota untuk menjalankan kuliah kerja nyata (KKN). Kebetulan, saya sedang tidak ada biaya untuk membayar biaya kuliah. Jadi, mau tidak mau, saya harus cuti dan bekerja sehingga tidak punya kesempatan untuk menjalankan KKN bersama teman-teman lainnya.
Tapi, saya tidak sendiri. Ada sahabat karib yang juga menemani saya cuti. Sebut saja namanya Abror. Alasannya tidak ikut KKN bukan karena dia tidak punya biaya kuliah, melainkan karena … (yang ini saya lupa-lupa ingat. Jadi, sebut saja “lupa” daripada berbohong, kan?)
Abror sering mengajak saya nongkrong seusai saya pulang bekerja. Tepatnya, di Pajawan. Pajawan adalah tempat paling hits di Jatinangor saat itu karena kamu bisa berjam-jam diam di sana dengan hanya membeli segelas kopi susu atau sepiring tumis Indomie (bahkan, kadang-kadang kami ngutang juga). Di Pajawan inilah kisah hoax saya dimulai.
Saat itu, saya dan Abror sedang asyik bercanda soal teman-teman yang tengah mengikuti KKN. Menurut informasi, banyak teman-teman kami yang kesulitan karena terbiasa hidup mewah, lantas harus bersempit-sempit ria tidur di rumah penduduk. Ada juga cerita menarik soal teman yang takut diteluh karena ada kepala desa yang keukeuh pengen menikahkan dia dengan anaknya. Kalau nggak, nanti diteluh sampai mati. Seram juga, ya?
Cerita demi cerita bergulir hingga akhirnya sampai pada cerita tentang kawan Abror yang iseng berbohong kepada teman-teman lainnya sewaktu SMA soal dia mati. Saat itu, Abror bilang bahwa temannya mengirim SMS pada kawan karibnya soal berita kematiannya. Mendengar cerita itu, saya tiba-tiba saja tertular virus iseng. Saya tanya Abror, “Kita bikin berita gitu juga, yuk!”
Di luar ekspektasi, Abror pun meng-iya-kan dan langsung mengirim SMS kepada salah satu teman dekat kami yang sedang KKN, yang isinya menyebutkan bahwa saya sedang dalam kondisi koma tiga hari karena gegar otak. Selesai mengirim SMS, kami pun tidak berhenti terbahak-bahak. Beberapa orang teman yang dikirimi SMS kemudian riuh bertanya di mana saya dirawat.
Berbohong memang biangnya celaka. Baru sekejap kami terbahak-bahak, kami sudah kena tulah. Pagi-pagi, HP saya sudah penuh dengan SMS yang bertanya tentang kabar saya. Belum lagi ratusan misscalled hinggap di dalamnya. Bukan cuma saya dan Abror yang kena tulah, teman sekosan saya pun harus ikut berbohong dengan mengatakan beberapa nama rumah sakit tempat saya diopname.
Selang tiga hari, beberapa dosen menggelar rapat untuk menjenguk saya. Beberapa senior di kampus mendatangi kosan saya untuk memastikan kondisi saya. Bahkan, beberapa komunitas mahasiswa di fakultas lain yang mengenal saya turut mencari tahu keberadaan saya. Mendengar kabar bahwa saya seterkenal itu, ada dua hal yang saat itu muncul di pikiran saya. Satu, saya beruntung menjadi mahasiswi eksis yang dikenal banyak orang. Dua, saya kualat karena harus berbohong kepada banyak orang.
Dari kedua opsi tersebut, pada akhirnya saya memilih untuk menangis dan mengakui bahwa saya kualat karena berbohong pada banyak orang. Tapi, tidak secepat RS, saya butuh waktu selama sebulan untuk bisa mengakui kebohongan saya.
Selang sebulan dari tragedi kebohongan itu, saya mengumpulkan semua teman-teman dan beberapa dosen di sebuah tempat bernama blue stage. Di situlah pengakuan saya dimulai. “Sebenernya, saya nggak sakit. Saya cuma kesepian dan kangen sama kalian.” Entah benar atau tidak alasan saya mengirimkan berita iseng itu, yang jelas itulah kalimat yang keluar dari mulut saya.
Setelah mendengar pengakuan saya, beberapa orang teman memeluk saya lega. Beberapa orang lagi mencaci maki saya “sinting”. Beberapa orang lainnya, mungkin acuh tak acuh atau berbicara di belakang. Beberapa dosen mengatai saya “gila”, dan banyak lagi respon lain yang diujarkan lewat laku maupun kata. Tapi, itulah yang harus saya tanggung. Setelah tragedi itu, saya tahu bahwa kadang-kadang bohong muncul seperti rasa rindu: tiba-tiba dimulai dan tiba-tiba harus mengakuinya. Haha.
Soal bohong yang kadang tak tahu waktu
Yang benar saja, memang ada bohong yang tahu waktu? Ya, itu yang dinamakan white lies. Lalu, apakah kebohongan yang dilakukan RS adalah white lies? Menurut pengamatan-semau-saya ini, kasus RS dengan kasus kebohongan saya sama-sama bukan white lies atau pun black lies. Saya sadari, kebohongan yang saya lakukan terdorong oleh eksistensi. Ketika saya tidak bekerja dan berkegiatan layaknya teman-teman yang lain, akankah mereka peduli? Mungkin, RS juga merasakan hal yang sama: “ketika saya tidak lagi cantik, apakah anak-anak dan pendukung saya masih peduli?” (ini mungkin lho, ya).
Merujuk ke sana, sepertinya saya-di-usia-belasan dengan RS-di-usia-paruh-baya ini sama-sama punya kondisi patologis yang menyebabkan kami berbohong secara tiba-tiba. Bisa jadi karena eksistensi, bisa pula karena gangguan kepribadian. Ya, kalo saya-di-usia-belasan bisa dibilang kena sindrom “lagi cari jati diri alias puber”, mungkin RS bisa juga dibilang kena sindrom menopause.
Tapi, kalau menurut Psychology Today, beberapa orang bisa saja berbohong tanpa tujuan yang jelas karena:
Menganggap kebohongan itu penting. Bagi sebagian orang, berbohong adalah hal penting yang harus dilakukan untuk memanipulasi tekanan yang mereka buat sendiri. Dalam kasus RS, ia merasa tertekan karena kegagalan operasi plastik yang dilakukannya sehingga berbohong menjadi cara terbaik untuk meredakan rasa tertekannya.
Menceritakan kebenaran sama saja dengan menyerahkan kendali. Sering kali, orang berbohong untuk mengendalikan sesuatu dan menggunakan pengaruhnya dalam mendapatkan keputusan atau reaksi yang mereka inginkan. Dalam kasus RS, saya pikir kebohongan dilakukan untuk mengendalikan eksistensinya sebagai seorang ibu dan publik figur. Apalagi, selama ini RS sering disangkutpautkan dengan isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Jadi, malulah mungkin kalau ketahuan gagal operasi karena ingin memberdayakan kembali kecantikannya. (ups, no offense)
Terjebak dalam kebohongan yang seperti bola salju. Berbohong sekali, lalu kamu harus menutupinya dengan kebohongan yang lain sehingga lambat laun kebohongan itu semakin besar. Inilah yang diakui oleh RS soal kebohongannya itu.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ingatan kita dipengaruhi oleh banyak hal, yang berubah seiring berjalannya waktu. Sering kali, pembohong merasakan begitu banyak tekanan pada satu waktu sehingga ingatan mereka tidak dapat diandalkan. Ingatan mereka telah diliputi oleh stres, kejadian terkini, dan keinginan mereka untuk berhasil mengatasi situasi tersebut.
Jadi, mungkin RS sedang tertekan karena gagal operasi dan kesepian ditinggal anak-anak yang sibuk sehingga harus mengurus sendiri masalah eksistensinya dengan beberapa jenis kebohongan.
Semua orang pernah berbohong
Mungkin, sebagian orang menertawakan “kebodohan” RS karena berbohong soal operasi plastiknya yang gagal. Beberapa pihak merasa tersinggung karena diseret ke dalam skenario hoax-nya, dan sebagian lagi menyayangkan kenapa figur yang dielu-elukan itu harus menebar hoax yang menjurus pada celah-celah politik, namun dengan alasan yang sama sekali tidak terlihat profesional?
Apa pun yang kamu rasakan, saya hanya mengakui satu kalimat yang diucapkan Bu RS: semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang pernah berbohong. Mungkin, kita bisa berbohong semau kita karena tidak ada yang peduli. Mungkin, kita bisa bilang kalau baju yang kita pakai ini mahal harganya saat ditanya oleh teman yang kelihatannya selalu pakai barang branded. Mungkin, kita juga pernah berbohong pada pasangan soal dari-mana-mau-ke-mana supaya semuanya aman terkendali. Sayangnya, kita tidak seterkenal RS sehingga nggak perlu dikejar-kejar paparazi, nggak perlu diselidiki intel, dan nggak perlu menggelar konferensi pers gara-gara ketahuan bohong.
Jadi, daripada berbicara soal kebohongan orang lain, lebih baik bertanya pada diri sendiri: “pernahkah saya berbohong hanya karena alasan yang-nggak-seberapa?” Atau “sudahkah saya jujur hari ini?”
Selamat belajar jujur!
Comments
Post a Comment