Skip to main content

Fenomena Kurbanisasi, Mitos Islami yang Tak Terelakkan

Kurban tak harus hewan
Kurban © Pexels

Baru-baru ini, saya melaksanakan kurban di lingkungan rumah. Tapi, berbeda dengan kebanyakan umat Islam lainnya, saya tidak berkurban domba maupun sapi. Saya hanya mengurbankan sedikit bagian harta yang saya dapat untuk berbagi dengan orang-orang sekeliling saya.
Saat salah satu tetangga saya bertanya, “Neng, ini dalam rangka apa?”
Saya pun menjawab, “Insyaallah kurban.”
Sontak semua yang hadir di sana mengernyitkan dahinya. Sang tetangga pun kemudian menjawab seolah mengklarifikasi, “Bukan kurban mungkin, sedekah.”
Berdasarkan kejadian tersebut, saya melihat bahwa ada persepsi yang berbeda antara kurban yang saya tafsirkan dengan kurban yang selama ini melekat sebagai mitos islami. Sesuai dengan apa yang saya pelajari, kurban berasal dari kata qurban (Arab) dan karov (Ibrani) yang artinya ‘pendekatan atau mendekat (kepada Allah)’.
Dalam bahasa Indonesia sendiri, kurban diartikan sebagai suatu praktik yang biasanya dilakukan oleh berbagai pemeluk agama sebagai tanda kesediaan pemeluknya untuk menyerahkan sesuatu kepada Tuhannya.
Saya melihat bahwa praktik kurban yang ditemukan pada zaman sekarang ini tidak lebih dari sekadar penjabaran banal mengenai mitos-mitos dan legenda yang ada pada zaman dulu, yakni ketika hewan atau manusia dijadikan sebagai sesembahan kepada Yang Dipuja.
Ismail yang tergantikan domba
Mungkin hampir semua umat Islam mengetahui bahwa asal mula praktik kurban berawal dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih putranya, Nabi Ismail. Namun, karena keikhlasan kedua belah pihak untuk menjalankan perintah Allah, maka Allah mengganti kurban tersebut dengan seekor domba jantan dari surga.
Bagi saya, cerita ini bukan sekadar denotasi manusia sesembahan yang digantikan oleh domba sesembahan, melainkan bagaimana Tuhan memberikan jalan keluar bagi keikhlasan umat-Nya ketika mendekatkan diri kepada-Nya. Esensi kurban di sini lebih kepada bagaimana manusia mampu mengikhlaskan semua harta miliknya, termasuk anak kandungnya sendiri, demi mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Jika Ismail bisa digantikan oleh domba jantan, maka bukan tidak mungkin jika domba jantan digantikan oleh sejumlah paket sembako. Inilah esensi nilai-nilai Islam yang bagi saya lebih progresif karena sejatinya, Tuhan mahatahu dan mahapengasih.
Jika kurban pada zaman yang serbamodern ini masih dianggap sebagai praktik penyembelihan hewan, maka apa jadinya jika para penerima kurban ternyata hanya mendapatkan jatah kurban berupa daging tanpa bisa mengonsumsinya karena ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan primer lainnya?
Bukankah kebanyakan masyarakat Indonesia sekarang masih banyak yang memilih untuk diberi nasi dan lauk-pauk dibandingkan hanya sebongkah daging? Atau bisa juga daging yang sudah diperoleh tersebut dijual kembali dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang di pasar sehingga mereka bisa membeli sekilo beras dan bumbu masakan saja.
Tapi, saya memilih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara yang lain sebab kurban adalah pendekatan, bukan penyembelihan. Bahkan jika ada di antara masyarakat Indonesia yang tidak memiliki harta tapi memiliki banyak ilmu, bukankah pengamalan ilmunya itu sudah termasuk dalam praktik kurban?
Dalam hal ini, saya melihat adanya fenomena kurbanisasi yang menjerat umat Islam agar mempertahankan hewan sembelihan sebagai sebuah ibadah dibandingkan dengan meningkatkan nilai moral dan spiritual mereka untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Bukankah sekarang ini banyak sekali pesohor yang mengurbankan banyak hewan, namun tetap berdusta di hadapan publik? Bukankah saat ini banyak sekali para pejabat yang mengurbankan berekor-ekor sapi demi kemaslahatan bersama, namun melakukan tindakan korupsi setelahnya? Hal itu saya lihat sebagai bukti bahwa penyembelihan hewan bukan satu-satunya jalan untuk melakukan praktik kurban, apalagi meningkatkan spiritualitas. 
Bagi saya, fenomena kurbanisasi ini sudah mirip-mirip dengan fenomena urbanisasi. Jika urbanisasi membuat masyarakat desa ingin beranjak ke kota karena melihat kesempatan untuk bermewah-mewah, maka kurbanisasi seolah mengajak masyarakat untuk beranjak dari pendekatan menjadi penyembelihan.
Mungkin sudah saatnya cendekiawan Islam mulai mengurbankan pemikiran, ilmu pengetahuan, dan wawasannya kepada sesama muslim agar tidak terjerat pada fenomena kurbanisasi atau mitos Islami lainnya. Apalagi sampai mengurbankan perasaan rakyat kecil demi sebuah gengsi “pejabat tidak kurban sapi”.

Comments

Bacaan Populer

Spiritual Awakening, Apakah Kamu Sedang Mengalaminya?

Bagi sebagian orang, istilah spiritual awakening mungkin terdengar asing. Tapi, bisa jadi mereka semua pernah atau bahkan sedang mengalaminya. Beberapa orang menyebutnya dengan istilah “pencerahan” atau “kebangkitan spiritual”, sebagian lagi menyebutnya “kesadaran spiritual”. Dalam tulisan ini, saya akan menyebutnya sebagai kesadaran spiritual karena bagi saya, setiap orang sudah mengalami perjalanan spiritual sejak lahir. Namun, tidak semua orang menyadarinya.  Sebagian orang mungkin akan merasakan kedamaian tersendiri saat mengalaminya, tapi ada juga sebagian orang yang justru merasakan hal-hal lain di luar kendali, seperti merasa ada yang berbeda dengan dirinya sendiri, kemelut pikiran dan hati, sampai merasakan adanya gangguan mental yang sering kali dianggap sebagai penyakit. Untuk lebih memahaminya, mari kita perjelas dulu batasan kesadaran spiritual ini! Spiritual Awakening © Retha Ferguson via Pexels Apa itu kesadaran spiritual? Ketika seseorang melalui kesadar...

Apakah Kamu Seorang Empath?

Pernah merasa cemas, sedih, atau marah tanpa sebab yang pasti? Atau bahkan merasakan gejala fisik yang kuat tanpa alasan logis? Mungkin, kamu adalah seorang empath. Sebelum mengenal diri saya sebagai empath, saya selalu merasa ada yang salah dengan diri saya. Terlebih, saya juga pernah disinyalir menderita kepribadian ganda di usia muda. Namun, pada saat itu, saya berpikir bahwa itu hanya sebagian kisah dari pencarian jati diri. Setelah berkelana sampai ke palung diri yang paling dalam dan bertemu sesama empath, saya pun sadar bahwa kami punya gift yang cukup unik dan mungkin tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Sebelum mengenal diksi empath, saya lebih sering menyebut diri saya sebagai “energian”, yaitu orang yang punya sensitivitas tinggi terhadap energi. © Pixabay via Pexels Empath dan HSP Empath adalah orang yang sangat peka terhadap emosi orang-orang di sekitarnya sehingga merasakan emosi tersebut di dalam dirinya. Seorang empath cenderung melihat dunia secara berb...

Bukan Cuma Indigo yang Punya Sixth Sense

Beberapa kali saya tidak sengaja meramal kedatangan bencana atau kematian dan sering kali pula saya mengajukan pernyataan yang tepat saat pertama kali bertemu dengan orang-orang baru. Respon mereka rata-rata sama. Sama-sama bertanya, “Kamu indigo?” Padahal, tidak semua orang yang memiliki sixth sense atau indera keenam termasuk ke dalam kategori indigo. Ada juga beberapa jenis karakteristik jiwa yang dianugerahi kelebihan serupa. Nah, kalau kamu juga merasa atau sering disebut indigo, coba kenali karakteristikmu yang sesungguhnya. Apakah memang benar-benar indigo atau bukan.  © Pexels #1: Indigo Istilah anak indigo muncul pada era 1960-an dan 1970-an, periode revolusioner ketika terjadi perubahan dalam kesadaran dunia. Orang-orang indigo adalah orang yang tenang dan cinta damai. Mereka tidak menggunakan kekerasan untuk menaklukkan energi negatif, melainkan cahaya yang kemudian kita sebut aura. Mereka sangat sensitif baik secara emosional maupun lingkungan, serta dila...

Past Life Bukan Omong Kosong, Ini 11 Tanda Kamu Pernah Mengalaminya

Ketika kita memahami reinkarnasi sebagai pendewasaan atau evolusi energi jiwa, sebagian dari kita secara intuitif mengalami hal-hal yang berbeda dalam hidup yang mencerminkan usia energi yang dikenal sebagai jiwa.  Semakin kita dewasa, semakin kita berbakat dalam bidang kehidupan tertentu, maka semakin sering pula kita mengalami pengalaman kebangkitan spiritual. Berikut ini adalah beberapa tanda kalau kamu pernah bereinkarnasi. Past Life © Mike via Pexels #1: Mimpi berulang Mimpi adalah cerminan dari pikiran alam bawah sadar, sedangkan mimpi berulang-ulang kadang-kadang menandakan trauma, ketakutan, atau masalah yang sedang diproses oleh otak sebagai “urusan yang belum selesai”.  Mimpi berulang berpotensi menjadi refleksi dari pengalaman kehidupan masa lalu. Banyak orang mengklaim telah mengalami peristiwa tertentu, melihat orang tertentu, atau sering pergi ke tempat-tempat tertentu dalam mimpi mereka yang terasa sangat familiar.  Misalnya, saya sering kali...

Dalam Penciptaan Hawa, Tuhan Tak Patriarkis

Baru-baru ini, teman baik saya mengirimkan thread Twitter soal Hawa yang mendorong saya untuk kemudian mengenal perempuan pertama di muka bumi ini secara lebih dekat.  Sebagian dari kita mungkin sudah mendengar kisah bagaimana Adam diciptakan dan diperkenalkan kepada makhluk Tuhan lainnya semasa di surga. Bahkan, beberapa literatur menyebutkan bahwa Adam hidup sampai 930 tahun. Lalu, bagaimana dengan Hawa? Bagaimana ia diciptakan, diturunkan ke bumi, sampai akhirnya melahirkan manusia-manusia lainnya di muka bumi ini? © Luis Quintero from Pexels Benarkah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam? Menurut tradisi Yahudi , Adam dikecam sebelum dia dipertemukan dengan Hawa. Dalam buku abad pertengahan yang berjudul The Alphabet of Ben-Sira, disebutkan bahwa istri pertama Adam adalah Lilith yang marah dan kemudian bersekutu dengan setan sehingga Tuhan mengecamnya dan menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Konsep inilah yang kemudian mengonstruksi anggapan bahwa Hawa (perempu...