Badan Legislasi (Baleg) DPR, Menteri Hukum dan HAM, serta Panitia Perancang Undang-Undang (UU) DPR sepakat mengurangi 16 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, termasuk RUU PKS.
Lantas, alasan yang tak masuk akal pun dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang kepada wartawan di DPR dengan mengatakan, “RUU PKS ditarik karena pembahasannya agak sulit. Kami menarik dan sekaligus mengusulkan yang baru, yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.”
Apa yang sulit?
Mengutip VOA Indonesia, Komnas Perempuan menilai bahwa penundaan berulang ini bisa menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar anggota DPR RI belum memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual.
Padahal, menurut Komnas HAM, terdapat 542 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (KDRT) yang 24 persennya merupakan kasus kekerasan seksual. Sementara itu, terdapat 226 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas dengan 89 persennya merupakan kekerasan seksual.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), ada logika yang lompat ketika membahas pasal tentang kekerasan seksual atau perkosaan dalam keluarga, termasuk dalam perkawinan. Sering kali, perkosaan dalam pernikahan dikaitkan dengan dalil kewajiban istri melayani suami. Logika ini juga berlaku ketika membahas potensi kekerasan di antara sesama jenis, lalu dikaitkan dengan isu LGBTQ atau melegalkan perkawinan sesama jenis.
Inilah yang membuat masih saja ada pihak yang menilai RUU PKS sebagai produk Barat sekaligus agenda kelompok liberal dan feminis yang ingin mengubah tatanan budaya. Bahkan, sekelompok perempuan juga pernah membuat petisi menolak RUU PKS yang mereka sebut sebagai “RUU pro zina” di platform Change.org yang ditandatangani lebih dari 125 ribu orang.
Haruskah ada Gulabi Gang di Indonesia?
Beberapa tahun lalu, ketika masih bersikap anarkis (anti pemerintahan), saya sempat berpikir untuk membentuk polisi lingkungan yang bertugas memberantas kejahatan-kejahatan lingkungan di sekitar tempat tinggal saya.
Tapi, ide ini tidak pernah tereksekusi karena perlahan-lahan saya tumbuh menjadi pribadi yang lebih rasional (atau malah cenderung utopis?) karena berharap pemerintah mau mendengarkan kata hati rakyat. Mungkin, inilah yang dirasakan perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gulabi Gang di India.
Gulabi Gang (Geng Pink) adalah sebuah gerakan kolektif perempuan di India yang dibentuk untuk mengadvokasi korban-korban kekerasan seksual. Anggotanya memakai sari berwarna merah pink dengan sebilah pentungan bambu untuk menghukum para pelaku kejahatan seksual.
Gulabi Gang melakukan kerja-kerja lapangan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, mencegah perkawinan di bawah umur, memastikan terlaksananya pernikahan orang dewasa yang didasari suka sama suka, menjamin hak-hak dasar kaum miskin, dan memerangi korupsi.
"Ya, kami memerangi para pemerkosa dengan tongkat bambu. Jika kami menemukan pelakunya, kami memukulnya sampai ia menghitam dan biru sehingga dia tidak berani melakukan kesalahan lagi pada perempuan," ungkap Sampat Devi Pal, pendiri Gulabi Gang.
Asal muasal Gulabi Gang
Gulabi Gang © The Plaid Zebra |
Setiap anggota gerakan yang didirikan pada 2006 di distrik Banda ini wajib membayar iuran tahunan sebesar 500 rupee. Rata-rata, perempuan yang bergabung dengan anggota Gulabi Gang pernah mengalami penindasan dan ketidakadilan dari perilaku kekerasan.
Bukan tanpa alasan gerakan ini tumbuh subur di Bundelkhand, terutama di distrik Uttar Pradesh. Bundelkhand merupakan salah satu daerah di India yang paling miskin dengan lebih dari 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan terperangkap dalam siklus kesulitan, kekeringan, dan buta huruf yang tak berkesudahan. Tingkat buta huruf perempuan di wilayah ini mencapai 47 persen dan kejahatan seperti pembunuhan bayi, perkawinan anak, dan kekerasan dalam rumah tangga juga merajalela.
Sementara itu, Uttar Uttar Pradesh menempati peringkat sebagai salah satu provinsi yang paling tidak aman bagi perempuan di negara ini. Tercatat sebanyak 1.963 kasus perkosaan, 7.910 penculikan, dan 2.244 pembunuhan terkait maskawin pada 2013.
Bertolak dari latar belakang inilah maka Devi dan anggota Gulabi Gang memutuskan untuk “main hakim sendiri” dengan menggunakan tongkat bambu untuk menghukum para pelaku kejahatan seksual.
Kekerasan bukan jalan utama Gulabi Gang
"It is ironic that in one of India's most backward regions, women are forced to become 'masculine' and aggressive in their fight against machismo and patriarchy." —Nishita Jain, Filmmaker
Meski dianggap main hakim sendiri dan melakukan aksi kekerasan, Gulabi Gang tetap menempuh prosedur dialog, demonstrasi, dan aksi lainnya ketika berurusan dengan aparat dan birokrasi. Kalau upaya ini tidak berhasil, barulah Gulabi Gang menempuh jalur hukumnya sendiri dengan menggunakan tongkat bambu.
Selain itu, Gulabi Gang juga mendirikan pos-pos yang menerima laporan kekerasan seksual yang kemudian diteruskan ke polisi. Dalam sebuah film dokumenter, Devi Pal digambarkan dengan menekan seorang polisi untuk mem-BAP-kan kasus kematian gadis berusia 15 tahun yang dibakar hidup-hidup oleh kerabatnya.
Kekuatan tongkat bambu Gulabi Gang dilakukan sebagai alternatif para pencari keadilan yang menemukan bahwa sistem peradilan di Bundelkhand dinilai tidak berfungsi dan tidak dapat diandalkan.
Alternatif peradilan seperti ini bukan tidak mungkin muncul di Indonesia jika pemerintah tidak menempatkan penghapusan kekerasan seksual sebagai prioritas. Masa iya mau ada Gulabi Gang di Indonesia?
Semoga ada salah satu anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kementerian Hukum dan HAM, serta Panitia Perancang Undang-Undang (UU) DPR yang membaca tulisan ini dan menyadari pentingnya mengesahkan RUU PKS di Indonesia.
Tabik!
keren banget tulisannya kak, membuka wawasan dan pikiran! setuju sih sama gulabi gang. cewek2 yang pemberani :)
ReplyDeleteHalo, terima kasih atas apresiasinya. Baca juga artikel-artikel #PerempuanSufi lainnya ya. 🌻
Delete